MAKALAH
HADITS, SUNNAH,
KHABAR, ATSAR
Makalah ini disusun untuk memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Study Hadits /Ulumul Hadits
Dosen Pembimbing :
Muh. Khozin Kharis, H. S.Ag, M.H
Abdul Fatah
PROGRAM EKONOMI SYARI’AH SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM DARUSSALAM
( STAIDA )
BLOKAGUNG – TEGALSARI – BANYUWANGI
2012
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan
kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “study
hadits/ulumul hadits”. Tidak lupa
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan
inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Study Hadits/Ulumul Hadits, Muh. Khozin
Kharis, H. S.Ag, M.Hyang telah banyak memberikan kepada kami berbagai ilmu
tentang ilmu Ulumul Hadits khususnya kepada kami mahasiswa semester I Reguler.
Semoga apa yang beliau ajarkan kepada kami menjadi manfaat dan menjadi amal
jariyah bagi beliau di Akherat kelak. Amiin.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Hadis Pendidikan. Dalam makalah ini akan dibahas
beberapa pembahasan mengenai pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, Atsar , Ulumul
Hadits, dan Ilmu Hadits dan macam – macamnya.
Akhirnya penulis sampaikan terima
kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada
umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang
lain dan pada waktu mendatang.
Banyuwangi, Januari 2013
Penulis
Abdul Fatah
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang................................................................................................ 1
B.
Tujuan Penuisan............................................................................................. 1
D.
Sistematika Penulisan..................................................................................... 1
C.
Rumusan Masalah........................................................................................... 1
BAB
IIPEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.
Hadits, Sunnah, Khobar dan Atsar.................................................................... 2
a)
Definisi Hadits, Sunnah, Khobar, dan Atsar................................................. 2
b)
Bentuk – bentuk Periwayatan.................................................................... 3
c)
Fungsi Hadits Terhadap Alqur’an................................................................ 5
d)
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dan Alqu’ran............................................. 6
e)
Perbedaan Antara Definisi Hadi’ts Qudsi dan
Hadi’ts Nabawi...................... 6
B.
Ulumul Hadi’ts................................................................................................ 7
a)
Pengertian Ulumul Hadi’ts......................................................................... 7
b)
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadi’ts.................................................... 7
C.
Ilmu Hadi’ts dan Macam – macamnya.............................................................. 8
a)
Ilmu Hadi’ts .............................................................................................. 8
b) Hadi’ts Dilihat Dari Kwantitas Sanadnya...................................................... 9
c)
Hadits Dilihat Dari Kwalitas Sanadnya.......................................................... 14
BAB III
PENUTUP............................................................................................................ 17
A. Kesimpulan..................................................................................................... 17
B. Saran.............................................................................................................. 17
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sumber pokok
ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, hadits mempunyai peran dan fungsi
menentukan dalam kehidupan umat Islam. Kehadiran hadits dalam kehidupan
masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan
yang rinci dalam suatu persoalan. Hadits yang menjadi penjelas atau bayan
Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tektual Al-Qur’an. Makanya
eksistensi hadits dengan tidak menafikan derajat hadits seiring dengan sumber
pokok Islam tersebut.
Kalau Al-Qur’an
sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba
dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta
lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Kehadiran hadits
sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini
berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi
boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan
sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih
lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun
menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits
diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman
hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual
melahirkan apa yang disebut dengan “Hadits Riwayah Bil-lafdzi” dan “Hadits
Riwayah Bil-ma’na.”
B. TujuanPenulisan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari tentang Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar.
2. Untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang Hadits, Sunnah,
Khabar dan Atsar.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Hadits/Ulumul Hadits
C. Rumusan Masalah
Adapun yang kami jelaskan di sini rumusan masalahnya
sebagai berikut:
1. Apa pengertian Hadits, sunnah, khobar dan Atsar itu?
1. Apa pengertian Hadits, sunnah, khobar dan Atsar itu?
2. Bagaimana bentuk – bentuk periwayatannya?
3. Apakah fungsi Hadits terhadap Alqur’an?
4. Apakahperbedaan antara Hadits Qudsi, Alqur’an, dan Hadits Nabawi?
5. Apakah pengertian Ulumul Hadits?
6. Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu Hadits?
7. Bila dilihat dari segi kwalitas dan kwantitasnya Hadits terbagi menjadi
berapa?
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun
dengna sistematika pembahasan yang meliputi: BAB I : PENDAHULUAN Menyajikan
latar belakang masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika
penulisan; BAB II : PEMBAHASAN Membahas tentang Hadits, Sunnah, Khabar dan
Atsar, Ulumul Hadits, dan Ilmu Hadits dan Macam - macamnya. BAB II : PENUTUP
menyajikan kesimpulan dan saran.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Hadits,
Sunnah, Khobar dan Ahsan
a.
Definisi Hadits, Sunnah, Khobar, dan Atsar
1. Hadits
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadits.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Menurut rumusan lain, hadits adalah “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Menurut rumusan lain, hadits adalah “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu
adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits
marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada sahabat)
ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).”
Dan ahli ushul berpendapat, bahwa
hadits adalah “Semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
2. Sunnah
Sunnnah menurut bahasa, sunnah adalah
“Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain,
sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela
ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Sedangkan arti sunnah menurut istilah,
ulama terbagi menjadi tiga golongan: ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih.
Ahli hadits berpendapat bahwa sunnah adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup,
baik sebelulm menjadi Rasul maupun sesudahnya.”
Ahli ushul membatasi pengertian sunnah
hanya pada sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya yang berkaitan dengan syara’ yang terjadi setelah Nabi diutus menjadi
Rasul.”
Dan ahli fiqih mengartikan sunnah
sebagai “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi selain yang difardhukan dan
diwajibkan.” Menurut mereka, “Sunnah merupakan salah satu hukum yang lima
(wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), dan yang tidak termasuk kelima hukum
ini disebut bid’ah.”
3. Khobar
Khabar menurut lughat, yaitu berita yang
disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut
pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan
Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa
istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu
yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu
yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut
Hadits.
Ada juga ulama
yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku
kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan
Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut
istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat,
ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan
buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW.
Dengan
pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits,
dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga
ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga
sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena
masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi
maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari
Nabi SAW. saja.
4. Atsar
Atsar menurut
lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang
dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits.
Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
"Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan
menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang
marfu.
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk
segala sesuatu yang disandarkan kepada NAbi SAW dan demikian juga kepada
sahabat dan tabi’in. namun, para Fuqaha’ khurasan membedakannya dengan
mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat
dengan sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.
b. Bentuk – bentuk
Periwayatan
1. Bil Lafadzi
Periwayatan hadis dengan lafadz
dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana
Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun
walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis.Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa,syahadat.
b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.
c. Hadis yang
berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun
Islam, rukun iman, dan sebagainya.
Namun
ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan
saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang
bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar
al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab
bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna
sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para
sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak
setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara
langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin
seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri
merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan,
perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam
bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu
tidak bisa terjadi.
Yang penting dari
hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal
isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus
dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan
dalam riwayat itu.
2. Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits
diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW.periwayatan hadits itu diperketat
agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi
disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya,
tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak
mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak
dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih,
wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang
riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya
berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan
tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul
redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya
tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga
berbeda.
Meskipun terjadi perbedaan
dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini
merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Namun demikian Jumhur Ulama yang
lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal,
atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa
Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi
dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa
merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian,
bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan
pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna
tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad
dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis
marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat
memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan
dengan selain bahasa arab. Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan
maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama.
Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa
redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna
hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di
utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi
bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh
baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan,
bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis
sebagaimana yang ia dengarnya.
Seluruh ulama sependapat
menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna
hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan
makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan
yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya
hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan
menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan
lafal lebih utama dari pada dengan makna.
c. Fungsi Hadits Terhadap Alqur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci
terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari
kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan sebelumnya.
Al-Qur’an dan
Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam
dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan
bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi,
sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad
lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. (Drs. Achmad Syauki, Sulita Bandung, 1985
: 33).
Fungsi Hadits terhadap
Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu :
1. Menguatkan dan
menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Menguraikan dan
merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang
umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang
dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an
sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44
3. Menetapkan dan
mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi
adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an.
Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu,
haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain
sutra bagi laki-laki.
d. Perbedaan Antara Hadits Qudsi dan
Alqu’ran
Hadits qudsi adalah hadits yang disnisbatkan kepada Zat yang
quds (suci), yaitu Allah Ta’ala. Yang mana hadits qudsi ini disampaikan kepada
kita oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun perbedaan antara dia dengan
Al-Qur’an, maka ada beberapa perkara yang disebutkan oleh para ulama. Di
antaranya:
1.
Lafadz dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah, sementara lafazh hadis Qudsi
berasal dari Rasulullah–Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam walaupun
tentunya maknanya dari Allah.
2. Sanad
periwayatan Al-Qur’an secara umum adalah mutawatir, yakni bisa dipastikan
keabsahannya dari Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Berbeda halnya dengan hadits
qudsi, karena di antaranya ada yang merupakan hadits shahih, ada yang hasan,
ada yang lemah, bahkan ada yang palsu. Jadi keabsahannya dari Nabi
-alaihishshalatu wassalam- belum bisa dipastikan kecuali setelah memeriksa
semua sanadnya.
3. Kita
berta’abbud (beribadah) kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an, dalam artian
satu huruf mendapatkan sepuluh kebaikan. Sedangkan membaca hadits qudsi tidak
mendapatkan pahala huruf perhuruf seperti itu.
4.
Tidak diperbolehkan membaca hadits qudsi di dalam shalat, bahkan shalatnya
batal kalau dia membacanya. Berbeda halnya dengan membaca Al-Qur`an yang
merupakan inti dari shalat.
5.
Ayat Al-Qur`an jumlahnya kurang lebih 6666 ayat (menurut hitungan sebagian
ulama dan sebagian lainnya berpendapat jumlahnya 6.236), sementara jumlah
hadits qudsi yang shahih tidak sebanyak itu. Abdur Rauf Al-Munawi sendiri dalam
kitabnya Al-Ittihafat As-Saniyah bi Al-Ahaditsi Al-Qudsiyah hanya menyebutkan
272 hadits.
e.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan hadits
qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat
dengan sebutan Hadits Qudsi.
Ada yang
berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi karena penisbatannya kepada Allah Yang
Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hadits Qudsi jumlahnya sedikit. Buku yang
terkenal mengenai hal ini adalah [Al-Ittihafaat As-Sunniyyah bil-Hadiits
Al-Qudsiyyah karya Abdur-Ra'uf Al-Munawi (103 H) yang berisi 272 hadits.
B. Ulumul
Hadits
a. Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits.
(Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu
‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari
‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis
berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan,
perkataan, taqir, atau sifat.” (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist
(Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan kata
‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
Hadis nabi SAW”.
b. Sejarah dan Perkembangan Ilmu
Hadits
Dalam tataran
praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal islam atau sejak periode
Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul
bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada
mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang
sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.
Pada periode
Rasulullah SAW., kritik ata u penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang
menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakukan dnegan
cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu
riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat
lain yang dapat dipercaya utnuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia
menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat,
penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan
wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H;
khalifah pertama dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau empat khalifah Besar), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaian oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan maupun mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
khalifah pertama dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau empat khalifah Besar), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaian oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan maupun mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula, Umar
bin Al-Khathathab (581-644 H; khalifah kedua dari Al-Khulafa ‘Ar-Rasyidun).
Bahkan, Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang
meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661 ;
khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan
tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh
seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas
kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menurut persyaratan
tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan
kebenaranya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kritik matan juga
tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., misalny,
pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan mantan,
‘Inna-mayyita yu’zzabu bi buka’I ahlihi ‘alaihi” (Sesuangguhnya mayat diazab
disebebkan ratapan keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah salah
dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya.
Suatu ketika, Rasulullah SAW. Melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau
melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut,
rasulullah SAW bersabda, “Mereka sedang meratapi si mayit, sementara si mayat
sendiri sedangkan diazab dalam kuburanya”. Lebih lanjut ‘Aisyah berkata,
“Cukuplah Al-Qur’an sebagai bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari
Abu Hurairrah karena maknanya bertentangan denga Al-Qur’an.” Ia mengutip Surat
Al-An’am (6) ayat 16 yang artinya, “….dan seornag yang berdosa tidak akan
memikul dosa lain…..”.
Pada akhir abad ke-12
H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadits
teoretis, di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Iamam
Asy-Syfi’i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya seara
tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya Ar-Risalah (kitab usul
fiqih) dan Al-Umm (kitab fiqh).
Dalam catatan sejarah
perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun
ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad
AL-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam
kitabnya, Al-Muhaddits AL-Fashil bin Ar-Rawi wa Al-Wa’i.
Kemudian, muncul
Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405 H/1014 m)
dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, ma’rifah ‘Ulum AL-Hadits.
Kemudin, Abu Nu’ami
Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddits (ahli hadis) dari
Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya,
Al-Mustkhraj ‘Ala Ma’rifah ‘Ulum Al-hadits.
Setelah itu, muncul
Abu Bakr Ahmad Al-Khathib AL-badhdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 m) yang menulis
dua kitab ilmu hadis, yakni AL-Kifayah fi Qawanin Ar-Riwayah dan Al-Fami’li
Adab Asy-Syekh wa As-Sami’.
Sedang beberapa waktu,
menyusul AL-Qadhi’Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma
fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’. Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usaman bin
Shalah atau Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum
Al-hadis yang dikenal dengan Muqaddimah ibn Ash-Shalah.
Kitab lainnya yang
cukup terkenal di antaranya Tadrib Ar-Rawi oleh Jalaluddin As-Syuthi, Tauhid
Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma;il Al-Kahlani As-San’ani (1099 H/1688 M-1182
H/1772 M), dan Qowa’id At-Tahdis karya Muhamamd jamaluddin bin Muhammad bin
Sa’id bin Qaim AL-Qasimi (1283-1332 H).
C. Ilmu
Hadits dan Macam – macamnya
a. Ilmu Hadits
Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan
Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
1. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui
cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain
sebagainya.
Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada
orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam
menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya,
baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah
matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau
bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari
adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.
2. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits,
sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul
hadits. Kitab yang dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits
adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal
tahun 463 H).
Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan
untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan
atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.
b. Hadits Dilihat Dari Kwantitas Sanadnya
Ulama berbeda
pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud
tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan menelusuri jumlah para
perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. Para ahli ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawattir, masyhur, dan
ahad. Dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadits mutawattir
dan ahad.1
Pendapat pertama, yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari hadits ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya
adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370H). Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur
bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari
hadits Ahad. Mereka membagi hadits menjadi dua bagian, Mutawattir
dan Ahad.
1.Hadits Mutawattir
a. Definisi
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawwaatur yang
artinya berurutan. Atau bisa diartikan mutatabi’ yakni yang datang berikutnya
atau beriringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Menurut
istilah adalah “Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap
tingkatan sanadnya , menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat
untuk berdusta dan memalsukan hadist,, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya”
b.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat
hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul.
Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang
hadits mutawatir dan syarat-syaratnya tersebut. Karena bila telah diketahui
statusnya sebagai hadits mutawattir, maka wajib diyakini kebenarannya,
diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan.3
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu
hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawattir, bila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
Ø
Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits
mutawattir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada
keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai
masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu
dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu.
Menurut ulama
yang tidak mensyariatkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu,
menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan
mustahil mereka sepakat untuk berdusta.4 Sedangkan menurut ulama
yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah
tertentu itu.
Al- Qadhi
Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits agar bisa disebut mutawattir
tidak boleh berjumlah empat orang. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5
orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
Al-Istikhary
menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan
awal bilangan banyak.
Ulama lain
juga banyak yang menentukan jumlah minimal perawi agar suatu hadits dapat
mencapai mutawattir. Ada yang menyebutkan 12 orang, 20 orang, 40 orang, bahkan
70 orang.
Penentuan
jumlah-jumlah tertentu sebagaimana telah disebutkan sebetulnya bukan merupakan
hal yang prinsip. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak ( tapi melebihi batas
minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang
mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits
mutawattir.
Ø Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Setiap Tingkatannya.
Jumlah Perawi
hadits mutawattir, antara thobaqot dengan thobaqot lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 10 sahabat umpamanya,
kemudian diterima oleh 5 tabi’in, dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2
orang tabi’it tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawattir, sebab
jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
Akan tetapi,
ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thobaqot
tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah
terhindarnya kemungkinan berbohong.
Ø Berdasarkan
Tanggapan Panca Indra
Berita yang
disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan panca indera. Artinya
bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatannya sendiri. Oleh karna itu, bila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil
istinbat dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawattir.6
c. Pembagian
Hadits Mutawattir
Menurut sebagian
ulama, hadits mutawattir itu terbagi menjadi dua, yakni mutawattir lafzhi
dan mutawattir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga,
yakni ditambah dengan hadits mutawattir ‘amali.
Ø Mutawattir
Lafzhi
Hadits
mutawattir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang
lainnya.
Contoh hadits
mutawatir lafdzi adalah:
”Barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadis ini
diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan
menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.
Ø Mutawattir
Ma’nawi
Hadits
Mutawattir ma’nawi adalah Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya
tidak.9 Dalam penjelasan lain, Mutawatir ma’nawi adalah hadits yang
rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang
berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
Contoh hadits
ini adalah:
“Abu musa
al-as’ari berkata : Nabi Muhammad saw berdoa, kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya hingga aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”
Hadits yang
menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa ini berjumlah sekitar
seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik
persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
Ø Mutawattir
‘Amali
Hadits
Mutawattir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia
termasuk urusan agama dan telah mutawattir antara umat Islam, bahwa Nabi
Muhammad SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.
Macam hadits
mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu
shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat,
pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dll.
d. Nilai dan
Fungsi Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu
memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan
mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut
hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah
mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan membawa
keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak
menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini
ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya.
Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya,
wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh
para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits
mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun
kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana
telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan
dusta.
2. Hadits Ahad
a. Definisi
Secara bahasa
kata ahad atau wahid jika dilihat dari segi bahasa berarti satu. Maka khabar
ahad atau khabar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan menurut para
ahli hadis ialah:
“Yakni hadis yang tidak
mencapai derajat mutawatir”
Adapun yang dimaksud
hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara
lain:
Hadits ahad
adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang
memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi
hadits mutawatir.
Ada juga ulama’ yang
mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir.11 hadits selain mutawatir,12
atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga Rasul, tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan
yaqin.
Muhammad Abu
Zarhah mendefinisikan hadis ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan
oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi
persyaratan hadits mutawatir.14
Abdul Wahab Khallaf
mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau
sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai
perawi terakhir.15
b. Pembagian Hadits
Ahad
Ulama Ahli
secara garis besarnya membagi hadits Ahad menjadi tiga, yaitu masyhur , ‘aziz
dan gharib.
Ø
Hadits Masyhur
Menurut bahasa
hadits masyhur adalah “Nampak atau terkenal”. Sedangkan menurut istilah hadis
masyhur adalah ; “Hadis yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih
pada setiap thabaqat dan belum mencapai derajat hadis mutawatir”.
Menurut ulama ushul
adalah “Hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak
sampai ukuran mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian
pula setelah mereka.”
Hadits ini dinamakan
masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang
memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak
mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.
Ulama’ Hanafiah
mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada
keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir.
Hadis
masyhur ini ada kalanya berstatus hasan, sahih,dan dhaif.Sedangkan yang
dimaksud hadis masyhur shahih, adalah hadis masyhur yang telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hadis shahih baik sanad maupun matannya.
Contohnya seperti
hadits Ibnu ‘Umar:
“Bagi siapa yang
hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”
Sedangkan yang
dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti
sabda Rasulullah SAW:
“Jangan melakukan
perbuatan yang berbahaya”
Adapun yang dimaksud
dengan hadits masyhur dha’if adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai
syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya, seperti
hadits:
“Menuntut ilmu wajib
bagi muslim laki-laki dan perempuan”
Istilah
masyhur disini bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan hadis
diatas. Namun, kata masyhur disini lebih menekankan pada ketenaran suatu hadits
dikalangan ilmuan tertentu atau masyarakat ramai.
Sehingga dengan
demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, atau bahkan
ada hadits yang malah tidak bersanad sama sekali. Namun, tetap bisa dikatakan
masyhur karena telah memenuhi syarat:
a) Jumlah rawi tiga
orang atau lebih
b) Telah tersebar luas
dikalangan masyarakat
Melihat dari ketentuan
diatas maka hadis masyhur dikelompokkan menjadi:
1. Masyhur diantara para ahli hadis secara khusus, misalnya hadis:
“Bahwasannya Rasulullah SAW membaca do’a qunut selama satu bulan penuh
setelah ruku’ untuk memdo’akan kaum Ri’il dan Zakwan”
2.Masyhur dikalangan ahli hadis dan ulama serta orang awam, misalnya;
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan
dan tangannya”.
3. Masyhur diantara para ahli fiqh, misalnya;
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”.
4. Masyhur diantara ulama ushul fiqh, misalnya;
“Telah dibebaskan dari umatku kesalahan kesalahan dan kelupaan dan
apa-apa yang dipaksa…..”.
5. Masyhur dikalangan masyarakat umum, misalnya;
“Tergesa-gesa adalah sebagian dari perbuatan syaitan”
6. Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang kemasyhurannya hanya di
kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
Ø
Hadits ‘Aziz
‘Aziz bisa berasal dari ‘Azza- ya’izzu yang berarti sedikit atau
jarang adanya, dan bisa berasal dari ‘azza- ya’azzu berarti kuat.18
Sedangkan ‘aziz menurut istilah, antara lain di definisikan sebagai
berikut:
“Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat
sanad”19
Penjelasan lebih lanjut tentang definisi hadis aziz ini, Mahmud at-Thahan
menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawi tiga atau
lebih, hal itu tidak menjadikan masalah asalkan dari setiap thabaqat terdapat
satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua atau tiga orang perawi.
Diantara contoh hadits ‘aziz adalah:
Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah beriman seseorang dintara kamu hingga
aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua umat
manusia”.
Hadits ‘aziz yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau
tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan, dan
dhaif.
Ø
Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid
(menyendiri) atau al-ba’id ‘an aqarabihi (jauh dari kerabatnya).20
Ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya” 21
Ibnu Hajar mendefinisikan hadits gharib adalah:
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”22
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits gharib adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, tanpa
ada orang lain yang meriwayatkannya.23
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi, maka hadits gharib ini digolongkan
menjadi dua, yaitu gharib mutlaq dan gharib nisbi.
Dikatakan sebagai gharib mutlaq apabila seorang perawi tersebut
menyendiri dalam meriwayatkan suatu hadits, meski dia berada pada thabaqah yang
pertama.
Contoh dari hadits ini adalah:
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan sama dengan kekerabatan dengan nasab
tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.24
Hadis tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya
Abdullah ibn Dinar saja yang meriwayatkannya, sedang Abdullah ibn Dinar adalah
seorang tabi’in yang hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
Sedangkan dikatakan sebagai gharib
nisbi apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu
seorang rowi, maka hadis yang diriwayatkannya disebut dengan hadis gharib
nisbi. Penyendirian rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan
dan kedhabitan perawi, atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.25
Contoh dari hadits ini adalah:
“Rasulullah memerintahkan kepada kami agar kami membaca surat al-fatihah
dan surat yang mudah dari al-Qur’an”26
Hadits gharib dinamakan juga hadits fard, baik menurut bahasa maupun
istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadits tersebut dapat
dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk gharib mutlak,
sedang gharib diterapkan untuk gharib nisbi.27 Dari segi kata
kerjanya, para muhaditsin tidak membedakan.
Hadits gharib ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung pada
kesesuaiannya dengan kriteria shahih, hasan, atau dhaifnya.
c. Nilai dan Fungsi Hadits Ahad
Jumhur Ulama sepakat
bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya
wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila
syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi.28 Hanya saja Abu
Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, serta
amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Oleh karna itu, hadits
yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan
tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu yang suci tidak
digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairoh tidak mengamalkannya. Sedang Imam
Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadits ahad tidak menyalahi amalan
ahli madinah.
Sedangkan golongan Qadiriyah, Rafidhah, dan sebagian
Ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak
wajib. Al-Jubai dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua
orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.29
Untuk menjawab
golongan yang tidak memakai hadits ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayim
mengatakan: “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Qur’an. Pertama,
kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua,
menjelaskan maksud al-Qur’an. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an.
Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang
ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati.30 Lebih dari itu,
ada yang menetapkan bahwa dasar beramal hadits ahad adalah al-Qur’an, Sunnah,
dan ijma
c. Hadits Dilihat Dari Kwalitas
Sanadnya
1.Hadits
shohih
Hadits shohih menurut bahasa adalah hadits yang bersih dari cacat,dan
Benar- benar berasal dari Rosululloh
SAW.
Sedangkan shohih menurut istilah ialah
hadits yang bersambung sanadnya,Yang di riwayatkan oleh rowi yang adil, dhobit
dari rowi lain yang menyamainya sampai akhir sanad dan tidak mengandung
kejanggalan dan tidak punya illat.
ماَأَخْرَجَهُاَلْبُخَارِيُّفِيْصَحِيْحِهِقَاَلَ : حَدَّثَنَاعَبْدُالَّلهِابْنُيُوسُفَقَالَأَخْبَرَنَامَالِكٌعَنِابْنِشِهَابٍعَنْمُحَمَّدِبْنِجُبَيْرِبْنِمُطْعِمٍعَنْأَبِيْهِقَالَسَمِعْتُرَسُولَاللَّهِصَلَّياللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَرَأَفِيالْمَغْرِبِبِالطُّوْرِ.
Adapun syarat-syarat hadits shoheh antara lain:
1.Rowinya
bersifat adil
2.Sempurna ingatannya
3.Sanadnya tidak putus
4.Tidak ada ilat
5.Tidak adanya kejanggalan
Hadits
shoheh dibagi menjdi 2 yaitu:
a. shoheh lidzatihi adalah hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi
kriteria keshohihannya dan tidak memerlukan penguat dari yang lain.
b.Shohih lighoirihi adalah hadits yang keshohihannya tidaklah
berdasarkan pada sanadnya sendiri,tetapi berdasarkan pada dukungan sanad yang
lain yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat dari padanya.
2.
Hadits hasan
Hasan menurut bahasa berarti bagus atau sifat yang disempurnakan dari
lafadz ”اَلْحُسْنِ ” Sedangkan menurut istilah para ulama muhaditsin tidak sependapat dalam menta’rifkan hadits
hasan.Mereka mendefinisikan hadits
hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang yang
adil,bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta
kejanggalan pada matannya.
Contoh hadits hasan :
مَاأَخْرَجَهُاَلتِِّرْمِذِيُّقاَلَ:حَدََّثَناَقُتَيْبَةُحَدَّثَنَاجَعْفَرُبْنُسُلَيْمَانُاضُّبَعِيُّعَنْأَبيِعِمْراَنَالْجُوَيْنِيّعَنْاَبيْبَكْرِبْنِأَبيِْموُْسيَالأَْشْعَريِْقاَلَ: سَمِعْتُأَبيِبِحَضْرَةِالْعَدُوِّيَقُولُ:قاَلَرَسُولاللهِصَليَّاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ : إِنَّأَبْوَابَالْجَنَّةِتَحْتَظِلِّالسُّيُوفِ.....الْحَدِيْثُ.
Adapun syarat hadits hasan antara lain :
a.
Sanad hadits harus bersambung
b.
Adilnya rowi
c.
Sunyi dari kejanggalan
d.
Sunyi dari cacat
Hadits hasan dibagi menjadi dua:
a.
Hasan lidzatihi
b.
Hasan lighoirihi
3.
Hadits dha’if / hadits mardud
Hadits dhaif
adalah hadits mardud yaitu
hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam
menetapkan suatu hukum.
Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
dari syarat-syarat hadits shoheh atau hadits hasan.Dengan demikian hadits dhoif
itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat
Hadits shoheh,juga tidak memenuhi
persyaratan hadits hasan.
Secara garis besar yang
menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits dhoif dikarenakan dua hal
yaitu:
a. Gugurnya rowi dalam sanadnya
b. Adanya cacat pada rowi atau matan
Yang dimaksud dengan gugurnya rowi ialah tidak
adanya satu ,dua atau beberapa rowi,yang seharusnya ada dalam satu sanad baik
dalam permulaan sanad, pertengahan maupun di akhirnya.
Macam-macam
hadits dha’if
Berdasarkan kepada sebab-sebab
ke-dha’ifan suatu hadits, hadits dha’if terbagi menjadi beberapa macam,yaitu:
1. Pembagian hadits dha’if ditinjau dari segi terputusnya sanad :
a. Hadits
muallaq adalah hadits yang dihapus dari awal
sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut
b. Hadits
mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya.
c. Hadits
mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang
perawi atau lebih secara berturut-turut.
d. Hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik di awal,di akhir atau
di pertengahan.
e. Hadits
mudallas adalah menyembunyikan cacat dalam sanad dan
menampakkannya pada lahirnya seperti baik.
Pembagian
Hadits dha’if di tinjau dari cacatnya perawi :
a. Hadits maudlu’ adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang rowi (pendusta) yang
ciptaan itu dibangsakan kepada rosululloh SAW secara palsu dan dusta,baik hal
itu disengaja maupun tidak.
b. Hadits matruk
adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan,yang diriwayatkan oleh orang
yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Yang dimaksud dengan rowi yang tertuduh
dusta adalah seorang rowi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai
pendusta,tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam
membuat hadits.seorang rowi tertuduh dusta bila ia bertobat dengan
sungguh-sungguh dapat diterima periwayatan haditsnya.
c. Hadits munkar
adalah hadits yang perawinya memiliki cacat dalam kadar sangat kelirunya atau
nyata kefasikannya.
d. Hadits mu’allal
adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm,yaitu banyaknya dugaan atau
sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah
“Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”,
sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi,
baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Sunnnah menurut bahasa, sunnah adalah “Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain, sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Dan ahli fiqih mengartikan sunnah sebagai “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi selain yang difardhukan dan diwajibkan.” Menurut mereka, “Sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), dan yang tidak termasuk kelima hukum ini disebut bid’ah.”
Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in.
Adapun atsar berdasarkan bahasa sama pula dengan khabar, hadits, dan sunnah. Adapun pengertian atsar menurut istilah terdapat di antara para ulama.
Sunnnah menurut bahasa, sunnah adalah “Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain, sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Dan ahli fiqih mengartikan sunnah sebagai “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi selain yang difardhukan dan diwajibkan.” Menurut mereka, “Sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), dan yang tidak termasuk kelima hukum ini disebut bid’ah.”
Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in.
Adapun atsar berdasarkan bahasa sama pula dengan khabar, hadits, dan sunnah. Adapun pengertian atsar menurut istilah terdapat di antara para ulama.
B. Saran
Dari penjelasan tentang pengertian Hadits,
Sunnah, Khabar dan Atsar dalam perspektif ulama Fiqh dan Ushuliyyin di atas
semoga kita sebagai umat Islam selalu memegang teguh Kitabullah dan Sunnah
Rasul. Hingga akhirnya kita semua bisa mendapatkan Syafaat dari Allah dan
Rasulullah di Padang Mahsyar kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
DR.
H. Bisri Affandi, MA. (1993) “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”.CV
Aneka Bahagia Offset,
Taqiyyudin
an-Nabhani (2003) “Peraturan Hidup dalam Islam” Bogor, Pustaka Thariqul
‘Izzah
Drs.
Ahmad Syauki (1984) “Lintasan Sejarah Al-Qur’an”, Bandung CV Sulita Bandung.
Drs.
H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah
KomponenMKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Shiddiqiey,
TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
2001
Itr,
Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung :
Remaja Rosda Karya. 1995
by : Abdul Fatah (clark fath okcat cocolataek aceJRnHolly2 aisylainnow, aftah, afgan, abgan, ngab, n dul)
by : Abdul Fatah (clark fath okcat cocolataek aceJRnHolly2 aisylainnow, aftah, afgan, abgan, ngab, n dul)
iya itu tadi contoh makalah ulumul qur'an/study hadits yg saya bisa bagikan pada postingan kali ini, semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar