Ekonomi Islam dalam Lintasan Sejarah
Banyak kalangan berpendapat bahwa
perkembangan industri perekonomian berbasis syariah seperti perbankan syariah,
asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, hotel syariah, swalayan
syariah dan sebagainya yang akhir-akhir ini perkembangannya makin impresif
hanyalah tren bisnis semata, dan bukanlah disebabkan oleh bekerjanya
teori-teori ekonomi Islam. Sebab ekonomi Islam tak lebih hanyalah sebuah
paradigma moral, bukan sebuah ilmu pengetahuan yang memiliki implikasi ilmiah (is
not a science). Namun agaknya pendapat tersebut terlalu subjektif dan
terburu-buru, sebab untuk tiba pada kesimpulan bahwa ekonomi Islam tidak ilmiah
hendaknya juga harus melalui hasil pengujian yang ilmiah pula. Artinya pendapat
bahwa ekonomi Islam tidak ilmiah justru tidaklah berdasar pada penjelasan yang
ilmiah.
Universalitas Islam sendiri
sesungguhnya telah terbukti sejak agama ini lahir. Tidak tebantahkan bahwa
kelahiran Islam telah merubah masyarakat jahiliyah Mekkah menjadi masyarakat
yang maju, berwibawa dan berpengaruh di dunia hingga saat ini. Tidak
terbantahkan pula semenjak kelahirannya, Islam telah mencapai kejayaan sains
dan teknologi selama 13 abad kepemimpinan khilafah. Konsistensi dan efektifitas
bangun perekonomian yang diteladankan Rasulullah SAW maupun pada masa-masa
puncak keemasan dunia Islam membuktikan bahwa ekonomi Islam bukan sekedar
trend. Adapun runtuhnya peradaban Islam bukan disebabkan karena lemahnya
syariah Islam yang kurang mengikuti perkembangan sains, namun lebih karena
faktor kekalahan perang yang berujung pada penaklukan dan pemusnahan sistem
khilafah (kepemimpinan Islam), sehingga penerapan syariah Islam praktis
mengalami stagnasi (kebekuan) dan terhenti hingga saat ini.
Tidak seperti ekonomi konvensional
yang murni merupakan hasil rumusan manusia, teori ekonomi Islam bersumber dari
Tuhan (Al-Qur’an). Manusia dalam konteks ini hanyalah menginterpretasikan dan
menjabarkan kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya secara lebih spesifik dan
sistematis serta merumuskannya menjadi teori-teori yang bisa diterima secara
ilmiah. Hal tersebut sesungguhnya telah dilakukan oleh para pemikir Islam masa
lalu, jauh sebelum ekonomi konvensional lahir. Sejarah membuktikan bahwa
Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam
tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistimatis, seperti Ibnu Khaldun (1332-1406), Ibnu Taymiyah,
Al-Ghazali (1111) dan Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku
yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab
Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin
Adam (203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (221 H), Kitab
Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid (224 H), dan kitab Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh
Muhammad Hasan Asy-Syabany. (234H).
Seorang ekonom, Jean David C.
Boulakia dalam artikelnya yang berjudul “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century
Economist” yang dimuat dalam Journal of Political Economiy 79 (5)
September –October 1971: 1105-1118 menulis bahwa Ibnu Khaldun jauh
mendahului Adam Smith, Keynes, Ricardo dan Robert Malthus.
“Ibnu
Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the virtue and the
necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour
value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and
insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more
than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system
in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term
fluctuation…..”
Jelas bahwa pembahasan ekonomi
Islam secara ilmiah dan sistematis telah dilakukan jauh sebelum ekonomi
konvensional lahir. Bahkan Adam Smith sendiri yang didaulat sebagai bapak ilmu
ekonomi pun terindikasi banyak mengadopsi teori-teori ekonomi Islam. Bahkan ada
yang mengatakan bahwa pemikiran Adam Smith banyak diilhami oleh kitab yang
berjudul hampir sama yakni “Al-Amwal” karya Abu ‘Ubaid (224 H). Meskipun
kebenaran isyu tersebut masih harus terus digali, akibat telah dimusnahkannya
literatur-literatur asli karya ilmuan muslim, namun satu hal yang tidak
tebantahkan adalah bahwa di dalam buku Wealth of Nation nya, Smith
secara tegas menceritakan bagaimana para pedagang muslim ketika mereka memasuki
suatu kota untuk berdagang. Mereka mengundang makan orang-orang yang
lewat, termasuk orang miskin untuk makan bersama. Dengan kemurahan hati
dan kehangatan seperti ini, para pengusaha muslim mendapatkan relasi dan
mengundang simpatik para konsumen, sehingga kepentingan bisnis mereka tercapai.
Di sini secara eksplisit Smith meniscayakan adanya korelasi yang kuat antara
aktivitas amaliah (moral Islam) dengan kesuksesan bisnis pengusaha muslim.
Dalam bukunya yang monumental
tersebut Adam Smith bahkan membedakan tingkat perekonomian masyarakat ke dalam
dua kategori, pertama, masyarakat yang ekonominya terbelakang ditandai dengan
mata pencariannya yang tradisional, seperti berburu dan ladang berpindah.
Kategori kedua adalah masyarakat ekonomi maju, dimana mata pencariannya adalah
berdagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di
Amerika Utara. Sedangkan contoh masyarakat ekonomi maju adalah bangsa Arab.
Bangsa Arab yang dimaksudkan Smith tentunya adalah bangsa pedagang di zaman
Rasulullah. Karena dalam penjelasan selanjutnya ia mengatakan bahwa bangsa yang
dipimpin oleh Muhammad dan para generasi sesudahnya (Mohamet and his immediate
successors).
Dari paparan Adam Smith terlihat
jelas bahwa ia mengakui keunggulan dan kehebatan ekonomi muslim pada masa
lampau. Maka kemungkinan besar secara tak langsung ia telah mengadopsi
teori-teori ekonomi Islam. Sebab jauh sebelum ia lahir, kemajuan ekonomi Islam
telah merambah sampai ke tanah kelahirannya Inggris. Tercatat bahwa pada tahun
774 M, Raja Offa di Inggris pernah mencetak koin emas yang merupakan copy
langsung (direct copy) dari dinar Islam, termasuk tulisan Arabnya. Semua
tulisan di koin itu adalah tulisan Arab, kecuali pada satu sisinya tertulis
OFFAREX. Fakta itu menunjukkan bahwa dinar Islam saat itu merupakan mata uang
terkuat di dunia. Selain itu perekonomian umat Islam jauh lebih maju dari
Eropa.
Teori Adam Smith yang terkenal
menyangkut invisible hand yang menjadi inti dari teori ekonomi kapitalis
sesungguhnya juga diduga keras mengadopsi hadits Rasulullah SAW yang populer di
kalangan Ulama Islam kala itu:
غلا
السعر فسعر لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم :
ان الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)
ان الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)
“Harga melambung pada zaman
Rasulullah SAW. Sahabat mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya
Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”. Rasulullah SAW bersabda:”Tinggi
rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa
mencampuri urusan dan ketetapan-Nya.”(H.R. Anas r.a)
Terlihat bahwa invisible hand
yang dalam versi Smith diterjemahkan sebagai kekuatan pasar (supply-demand),
sebenarnya merupakan kekuatan luar biasa yang oleh Rasulullah SAW disebut
sebagai “Tangan Allah” (God’s Hand). Implikasinya adalah bahwa mekanisme
pasar, kekuatan permintaan-penawaran invisible hand, atau apapun namanya
yang menyebabkan terjadinya keseimbangan harga sesungguhnya adalah “Sunatullah”
(kehendak Allah), yang selanjutnya dijabarkan lebih luas oleh Ibnu Taimiyah,
bahwa pemerintah tidak boleh menentukan harga, namun pemerintah bertugas
mengawal dan menjembatani agar mekanisme harga itu senantiasa berjalan dalam
koridor keadilan dan keseimbangan. Praktek-praktek perekonomian seperti itulah
yang menyebabkan kehidupan masyarakat Madinah di zaman Rasul saat itu
disebut-sebut sebagai potret sebuah masyarakat sipil yang ideal, sejahtera,
beradab dan berkeadilan (masyarakat madani). Padahal yang hidup di Madinah pada
saat itu bukan hanya umat Islam saja ataupun orang asli Madinah saja, namun
merupakan masyarakat plural yang multi etnik dan multi agama.
Masih banyak lagi teori-teori
ekonomi Islam yang terbukti diadopsi dan dikemas dengan wajah baru oleh ekonom
barat. Misalnya ilmuwan barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu
Taimiyah tentang mata uang (curency). Menurut Ibnu Taymiyah, uang
berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus
(mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak.
Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme
treatise. Belum lagi bagaimana St. Thomas Aquinas memperoleh towering
achievement (capaian hebat) dengan mencuri ide-ide dari Ibnu Sina dan Ibnu
Rusydi untuk menjelaskan pemikiran Aristoteles tentang ekonomi, seperti ditulis
oleh Schumpeter dalam catatan kakinya (History of Economics Analysis, Oxford
University, 1954). Tak heran jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang
bertentangan dengan dogma-dogma gereja.
Beberapa institusi dan model ekonomi
yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (lost profit sharing),
suftaja (bills of excahange), hiwalah (Letters of Credit), funduq
(specialized large scale commercial institutions and markets which developed
into virtual stock exchange), yakni lembaga bisnis khusus yang
memiliki skala yang besar yang dikembangkan dalam pasar modal. Hiwalah
yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan
konvensional tahun 1980-an. Funduq untuk biji-bijian pertanian dan tekstil
ditiru dari Baghdad, Cordova dan Damaskus. Demikian juga darut tiraz
(pabrik yang dibangun oleh negara untuk usaha eksploitasi tambang besi dan
perdagangan besi) di Spanyol Insitusi yang mirip dengan darut tiraz
adalah institusi ma’una, (sejenis bank privasi yang dibangun di
dunia Islam ditemukan di di Eropa Tengah dengan nama Maona. Insitusi ini
digunakan di Tuscani yang berfungsi sebagai sebuah perusahaan umum yang
mengembangkan dan menggali tambang besi serta melakukan perdagangan besi
tersebut dalam skala yang amat luas. Selanjutnya wilayatul hisbah,
yakni polisi ekonomi (pengawas ekonomi perdagangan) yang sudah ada sejak
masa Rasul SAW, juga ditiru oleh Barat.
Dengan banyaknya fakta historis
tentang eksistensi ekonomi Islam, jelas merupakan bukti empiris bahwa sistem
ekonomi Islam bukan sekedar tren atau wacana moral, namun merupakan ilmu
pengetahuan berisi konsep-konsep ilmiah yang telah berjasa membangun peradaban
ekonomi modern dan mencapai puncak kejayaan selama 13 abad. Fakta historis
tersebut juga turut menceritakan bagaimana konsep-konsep ekonomi Islam
tenggelam, bukan karena ketidak ilmiahan-nya, namun karena faktor di luar
wacana ilmiah. Dalam Encyclopedia Britania, Jerome Ravetz berkata,
”Sampai dengan tahun 1000 M Eropa masih berada dalam kegelapan dan kosong dari
segala ilmu dan pemikiran (the dark ages), kemudian pada abad ke 12
Masehi, Eropa mulai bangkit. Menurut Schumpeter (1954) ada masa dalam the
dark ages yang ia sebut the great gap yang berlangsung selama 500
tahun. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa puncak kegemilangan
bagi Islam sebelum akhirnya runtuh seiring dengan kekalahan dalam perang Salib
yang berlangsung selama kurang lebih 200 tahun. Ketika Barat dalam suasana
kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu
pengetahuan dan peradaban (the golden ages). Kegemilangan Islam di satu
sisi dan The dark ages pada sisi yang lain adalah suatu masa yang
sengaja ditutup-tutupi, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi
Islam dicuri oleh ekonom Barat.
Transmisi ilmu pengetahuan dan
filsafat Islam ke Barat ini telah dicatat dalam sejarah. Dan Insya Allah
sejarah juga akan mencatat bahwa saatnya nanti sistem ekonomi Islam kembali
bangkit menggenggam sejarah dibawah sistem khilafah, sebagaimana bunyi sebuah
hadits:
“Akan terjadi Nubuwwah padamu sesuai
dengan kehendak Allah, lalu Allah akan mengangkat (melenyapkannya) jika Dia
menghendaki. Setelah itu akan muncul khilafah yang sesuai dengan manhaj
nubuwah, lalu Allah akan melenyapkannya jika Dia menghendaki. Kemudian akan
datang raja yang zhalim (adlan) sesuai dengan kehendak-Nya, lalu Allah akan melenyapkannya
jika Dia menghendaki. Kemudian akan ada raja yang tirani maka ia pun muncul
sesuai kehendak Allah, kemudian ia lenyap jika Allah menghendaki. Setelah itu
akan muncul kembali Khilafah di atas manhaj Nubuwah Rasulullah. Maka Rasulullah
pun terdiam” (HR. Ahmad dari Hudzaifah Al-Yaman)
by : M. Syaikul Muttaqin
by : M. Syaikul Muttaqin
semoga bermanfaat postinganku kali ini,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar