Selasa, 22 Januari 2013

Perekonomian Dalam Lintas Sejarah


Ekonomi Islam dalam Lintasan Sejarah
Banyak kalangan berpendapat bahwa perkembangan industri perekonomian berbasis syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, hotel syariah, swalayan syariah dan sebagainya yang akhir-akhir ini perkembangannya makin impresif hanyalah tren bisnis semata, dan bukanlah disebabkan oleh bekerjanya teori-teori ekonomi Islam. Sebab ekonomi Islam tak lebih hanyalah sebuah paradigma moral, bukan sebuah ilmu pengetahuan yang memiliki implikasi ilmiah (is not a science). Namun agaknya pendapat tersebut terlalu subjektif dan terburu-buru, sebab untuk tiba pada kesimpulan bahwa ekonomi Islam tidak ilmiah hendaknya juga harus melalui hasil pengujian yang ilmiah pula. Artinya pendapat bahwa ekonomi Islam tidak ilmiah justru tidaklah berdasar pada penjelasan yang ilmiah.
Universalitas Islam sendiri sesungguhnya telah terbukti sejak agama ini lahir. Tidak tebantahkan bahwa kelahiran Islam telah merubah masyarakat jahiliyah Mekkah menjadi masyarakat yang maju, berwibawa dan berpengaruh di dunia hingga saat ini. Tidak terbantahkan pula semenjak kelahirannya, Islam telah mencapai kejayaan sains dan teknologi selama 13 abad kepemimpinan khilafah. Konsistensi dan efektifitas bangun perekonomian yang diteladankan Rasulullah SAW maupun pada masa-masa puncak keemasan dunia Islam membuktikan bahwa ekonomi Islam bukan sekedar trend. Adapun runtuhnya peradaban Islam bukan disebabkan karena lemahnya syariah Islam yang kurang mengikuti perkembangan sains, namun lebih karena faktor kekalahan perang yang berujung pada penaklukan dan pemusnahan sistem khilafah (kepemimpinan Islam), sehingga penerapan syariah Islam praktis mengalami stagnasi (kebekuan) dan terhenti hingga saat ini.
Tidak seperti ekonomi konvensional yang murni merupakan hasil rumusan manusia, teori ekonomi Islam bersumber dari Tuhan (Al-Qur’an). Manusia dalam konteks ini hanyalah menginterpretasikan dan menjabarkan kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya secara lebih spesifik dan sistematis serta merumuskannya menjadi teori-teori yang bisa diterima secara ilmiah. Hal tersebut sesungguhnya telah dilakukan oleh para pemikir Islam masa lalu, jauh sebelum ekonomi konvensional lahir. Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti Ibnu Khaldun (1332-1406), Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali (1111) dan Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (221 H),  Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid (224 H), dan kitab Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (234H).
Seorang ekonom, Jean David C. Boulakia dalam artikelnya yang berjudul “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” yang dimuat dalam Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118 menulis bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keynes, Ricardo dan Robert Malthus.
“Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…..”
 Jelas bahwa pembahasan ekonomi Islam secara ilmiah dan sistematis telah dilakukan jauh sebelum ekonomi konvensional lahir. Bahkan Adam Smith sendiri yang didaulat sebagai bapak ilmu ekonomi pun terindikasi banyak mengadopsi teori-teori ekonomi Islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pemikiran Adam Smith banyak diilhami oleh kitab yang berjudul hampir sama yakni “Al-Amwal” karya Abu ‘Ubaid (224 H). Meskipun kebenaran isyu tersebut masih harus terus digali, akibat telah dimusnahkannya literatur-literatur asli karya ilmuan muslim, namun satu hal yang tidak tebantahkan adalah bahwa di dalam buku Wealth of Nation nya, Smith secara tegas menceritakan bagaimana para pedagang muslim ketika mereka memasuki suatu kota untuk berdagang. Mereka mengundang makan orang-orang yang lewat,  termasuk orang miskin untuk makan bersama. Dengan kemurahan hati dan kehangatan seperti ini, para pengusaha muslim mendapatkan relasi dan mengundang simpatik para konsumen, sehingga kepentingan bisnis mereka tercapai. Di sini secara eksplisit Smith meniscayakan adanya korelasi yang kuat antara aktivitas amaliah (moral Islam) dengan kesuksesan bisnis pengusaha muslim.
Dalam bukunya yang monumental tersebut Adam Smith bahkan membedakan tingkat perekonomian masyarakat ke dalam dua kategori, pertama, masyarakat yang ekonominya terbelakang ditandai dengan mata pencariannya yang tradisional, seperti berburu dan ladang berpindah. Kategori kedua adalah masyarakat ekonomi maju, dimana mata pencariannya adalah berdagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di Amerika Utara. Sedangkan contoh masyarakat ekonomi maju adalah bangsa Arab. Bangsa Arab yang dimaksudkan Smith tentunya adalah bangsa pedagang di zaman Rasulullah. Karena dalam penjelasan selanjutnya ia mengatakan bahwa bangsa yang dipimpin oleh Muhammad dan para generasi sesudahnya (Mohamet and his immediate successors).
Dari paparan Adam Smith terlihat jelas bahwa ia mengakui keunggulan dan kehebatan ekonomi muslim pada masa lampau. Maka kemungkinan besar secara tak langsung ia telah mengadopsi teori-teori ekonomi Islam. Sebab jauh sebelum ia lahir, kemajuan ekonomi Islam telah merambah sampai ke tanah kelahirannya Inggris. Tercatat bahwa pada tahun 774 M, Raja Offa di Inggris pernah mencetak koin emas yang merupakan copy langsung (direct copy) dari dinar Islam, termasuk tulisan Arabnya. Semua tulisan di koin itu adalah tulisan Arab, kecuali pada satu sisinya tertulis OFFAREX. Fakta itu menunjukkan bahwa dinar Islam saat itu merupakan mata uang terkuat di dunia. Selain itu perekonomian umat Islam jauh lebih maju dari Eropa.
Teori Adam Smith yang terkenal menyangkut invisible hand yang menjadi inti dari teori ekonomi kapitalis sesungguhnya juga diduga keras mengadopsi hadits Rasulullah SAW yang populer di kalangan Ulama Islam kala itu:
غلا  السعر  فسعر لنا  رسول الله  صلى الله عليه و سلم :
ان الله  هو الخالق  القابض  الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم  يطلبنى  بمظلمة ظلمتها  اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Sahabat mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”. Rasulullah SAW bersabda:”Tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya.”(H.R. Anas r.a)
Terlihat bahwa invisible hand yang dalam versi Smith diterjemahkan sebagai kekuatan pasar (supply-demand), sebenarnya merupakan kekuatan luar biasa yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai “Tangan Allah” (God’s Hand). Implikasinya adalah bahwa mekanisme pasar, kekuatan permintaan-penawaran invisible hand, atau apapun namanya yang menyebabkan terjadinya keseimbangan harga sesungguhnya adalah “Sunatullah” (kehendak Allah), yang selanjutnya dijabarkan lebih luas oleh Ibnu Taimiyah, bahwa pemerintah tidak boleh menentukan harga, namun pemerintah bertugas mengawal dan menjembatani agar mekanisme harga itu senantiasa berjalan dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Praktek-praktek perekonomian seperti itulah yang menyebabkan kehidupan masyarakat Madinah di zaman Rasul saat itu disebut-sebut sebagai potret sebuah masyarakat sipil yang ideal, sejahtera, beradab dan berkeadilan (masyarakat madani). Padahal yang hidup di Madinah pada saat itu bukan hanya umat Islam saja ataupun orang asli Madinah saja, namun merupakan masyarakat plural yang multi etnik dan multi agama.
Masih banyak lagi teori-teori ekonomi Islam yang terbukti diadopsi dan dikemas dengan wajah baru oleh ekonom barat. Misalnya ilmuwan barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taimiyah tentang mata uang (curency). Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak.  Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise. Belum lagi bagaimana St. Thomas Aquinas memperoleh towering achievement (capaian hebat) dengan mencuri ide-ide dari Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi untuk menjelaskan pemikiran Aristoteles tentang ekonomi, seperti ditulis oleh Schumpeter dalam catatan kakinya (History of Economics Analysis, Oxford University, 1954). Tak heran jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja.
Beberapa institusi dan model ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (lost profit sharing), suftaja (bills of excahange), hiwalah (Letters of Credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange),  yakni lembaga bisnis khusus yang memiliki skala yang besar yang dikembangkan dalam pasar modal. Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an. Funduq untuk biji-bijian pertanian dan tekstil ditiru dari Baghdad,  Cordova dan Damaskus. Demikian juga darut tiraz (pabrik yang dibangun oleh negara untuk usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi) di Spanyol   Insitusi yang mirip dengan darut tiraz adalah institusi ma’una, (sejenis bank privasi  yang dibangun di dunia Islam ditemukan di di Eropa Tengah dengan nama Maona. Insitusi ini digunakan di Tuscani yang berfungsi sebagai sebuah perusahaan umum yang mengembangkan dan menggali tambang besi serta melakukan perdagangan besi tersebut dalam skala yang amat luas.  Selanjutnya wilayatul hisbah, yakni polisi ekonomi (pengawas ekonomi perdagangan) yang sudah ada sejak masa  Rasul SAW, juga ditiru oleh Barat.
Dengan banyaknya fakta historis tentang eksistensi ekonomi Islam, jelas merupakan bukti empiris bahwa sistem ekonomi Islam bukan sekedar tren atau wacana moral, namun merupakan ilmu pengetahuan berisi konsep-konsep ilmiah yang telah berjasa membangun peradaban ekonomi modern dan mencapai puncak kejayaan selama 13 abad. Fakta historis tersebut juga turut menceritakan bagaimana konsep-konsep ekonomi Islam tenggelam, bukan karena ketidak ilmiahan-nya, namun karena faktor di luar wacana ilmiah. Dalam Encyclopedia Britania, Jerome Ravetz berkata, ”Sampai dengan tahun 1000 M Eropa masih berada dalam kegelapan dan kosong dari segala ilmu dan pemikiran (the dark ages), kemudian pada abad ke 12 Masehi, Eropa mulai bangkit. Menurut Schumpeter (1954) ada masa dalam the dark ages yang ia sebut the great gap yang berlangsung selama 500 tahun. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa puncak kegemilangan bagi Islam sebelum akhirnya runtuh seiring dengan kekalahan dalam perang Salib yang berlangsung selama kurang lebih 200 tahun. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban (the golden ages). Kegemilangan Islam di satu sisi dan The dark ages pada sisi yang lain adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat ini telah dicatat dalam sejarah. Dan Insya Allah sejarah juga akan mencatat bahwa saatnya nanti sistem ekonomi Islam kembali bangkit menggenggam sejarah dibawah sistem khilafah, sebagaimana bunyi sebuah hadits: 
“Akan terjadi Nubuwwah padamu sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah akan mengangkat (melenyapkannya) jika Dia menghendaki. Setelah itu akan muncul khilafah yang sesuai dengan manhaj nubuwah, lalu Allah akan melenyapkannya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang raja yang zhalim (adlan) sesuai dengan kehendak-Nya, lalu Allah akan melenyapkannya jika Dia menghendaki. Kemudian akan ada raja yang tirani maka ia pun muncul sesuai kehendak Allah, kemudian ia lenyap jika Allah menghendaki. Setelah itu akan muncul kembali Khilafah di atas manhaj Nubuwah Rasulullah. Maka Rasulullah pun terdiam” (HR. Ahmad dari Hudzaifah Al-Yaman)



by : M. Syaikul Muttaqin

semoga bermanfaat postinganku kali ini,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar